Minggu, 10 Januari 2010

Kembalinya ribuan Khawarij ke barisan kaum Muslimin

Al Imam Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata,

“Barangsiapa mengatakan sahnya shalat di belakang imam, baik yang baik maupun yang fajir, tidak memandang bolehnya memberontak kepada penguasa dengan pedang, dan mendoakan penguasa dengan kebaikan, maka dia telah lepas dari perkataan khawarij dari awal hingga akhir” (Kitab Syarhus Sunnah oleh Imam Al Barbahari, hal. 57)

Berkata al Hafizh Abu Bakar al Humaidi (guru Imam al Bukhari yang disebutkan namanya pertama kali oleh beliau dalam Kitab Shahihnya),

“Dan kami tidak akan mengatakan seperti yang dikatakan oleh kaum Khawarij, ‘Barangsiapa yang melakukan dosa besar, maka ia telah kafir’” (Aqidah Shahih, Al Hafizh Abu Bakar Al Humaidi, Pustaka Imam Asy Syafi’i, Cetakan Pertama, Bogor, 2004)

Kembalinya Ribuan Kaum Khawarij ke Barisan Kaum Muslimin

Ketika berkumpul kelompok Haruriyah (Khawarij) yang berjumlah sekitar 6000 orang di desa Harura’, yang mana kata Haruriyah ini dinisbatkan kepada Harura’, yaitu sebuah desa berjarak dua mil dari Kufah dan menjadi tempat pertama berkumpulnya kaum Khawarij yang menyelisihi Ali bin Abi Thalib radhiyallaHu ‘anHu (Mu’jam al Buldan 3/345), orang-orang lalu mendatangi Ali bin Abi Thalib radhiyallaHu ‘anHu dan berkata,

“Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya kaum tersebut akan memberontak kepadamu”

Lalu beliau menjawab,

“Biarkan mereka, karena saya tidak akan memerangi mereka sampai mereka menyerang saya dan mereka benar-benar akan melakukannya”

Kemudian Ibnu Abbas radhiyallaHu ‘anHu mendatangi Ali radhiyallaHu ‘anHu sebelum shalat zhuhur dan Ibnu Abbas radhiyallaHu ‘anHu berkata kepadanya,

“Wahai Amirul Mukminin akhirkan shalat agar saya dapat mengajak bicara mereka”.

Beliau berkata,

“Aku khawatir mereka akan mencelakaimu”

Ibnu Abbas radhiyallaHu ‘anHu menjawab,

“Tidak akan, karena aku seorang yang berakhlak baik dan tidak pernah menyakiti seorang pun”

Lalu beliau mengizinkanku (Ibnu Abbas), maka aku mengenakan pakaian yang paling bagus dari Yaman dan menyisir rambutku, kemudian aku menemui mereka di perkampungan di tengah hari ketika mereka sedang makan.

Aku menemui suatu kaum yang aku tidak pernah menemukan kaum yang lebih bersungguh-sungguh (dalam ibadah) dari mereka. Dahi-dahi mereka hitam dari sujud, tangan-tangan mereka kasar seperti kasarnya unta dan mereka mengenakan gamis-gamis yang murah dan tersingkap serta wajah mereka pucat menguning.

Lalu aku memberi salam kepada mereka dan mereka menjawab,

“Selamat datang wahai Ibnu Abbas, pakaian apa yang engkau pakai ini ?”

Aku pun menjawab,

“Apa yang kalian cela dariku ? Sungguh aku telah melihat Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam sangat bagus sekali mengenakan pakaian dari Yaman, kemudian membacakan firman Allah Ta’ala,

‘Katakanlah, ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yang baik’ (QS. Al A’raaf : 32 )”.

Lalu mereka berkata,

“Apa maksud kedatanganmu ?”

Aku jawab,

“Aku mendatangi kalian sebagai utusan sahabat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam dari kaum Muhajirin dan Anshar dan dari sepupu Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam serta menantunya, sedangkan al Qur’an turun kepada mereka sehingga mereka lebih mengetahui terhadap ta’wilnya dari kalian dan tidak ada di kalangan kalian seorang pun dari mereka.

Sungguh aku akan menyampaikan kepada kalian apa yang mereka sampaikan dan aku akan sampaikan kepada mereka apa yang kalian sampaikan”.

Lalu berkata sekelompok dari mereka (kaum khawarij),

“Janganlah kalian berdebat dengan orang Quraisy karena Allah Ta’ala berfirman, ‘Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar’ (QS. Az Zukhruf : 58)”

Kemudian bangkit kepadaku sebagian dari mereka dan berkata dua atau tiga orang,

“Sungguh kami akan mengajaknya berbicara”

Saya berkata,

“Silahkan. Apa dendam kalian terhadap para sahabat Rasulullah dan sepupunya ?”

Mereka menjawab, “Tiga”.

Saya katakan, “Apa itu ?”

Mereka mengatakan,

“Yang pertama karena dia berhukum kepada orang dalam perkara Allah Ta’ala, sedangkan Allah Ta’ala berfirman, ‘Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah’ (QS. Al An’aam : 57)”

Saya katakan, “Ini satu”

Mereka berkata lagi,

“Yang kedua, karena dia berperang dan tidak menawan dan merampas harta (yang diperangi), kalau mereka kaum kafir maka halal menawannya dan kalau mereka kaum mukminin maka tidak boleh menawan mereka dn tidak pula memerangi mereka”

Saya katakan, “Ini yang kedua dan apa yang ketiga ?”

Mereka berkata,

“Dia menghapus gelar amirul mukminin dari dirinya, maka jika dia bukan amirul mukminin, dia amirul kafirin”

Saya katakan, “Apa masih ada pada kalian selain ini ?”

Mereka menjawab “Ini sudah cukup”

Saya katakan kepada mereka,

“Bagaimana pendapat kalian kalau saya bacakan kepada kalian bantahan atas pendapat kalian dari kitabullaH dan sunnah Nabi-Nya, apakah kalian mau kembali ?”

Mereka mengatakan, “Ya”

Saya katakan,

“Adapun pendapat kalian bahwa dia (Ali bin Abi Thalib radhiyallaHu ‘anHu) berhukum kepada manusia dalam perkara Allah Ta’ala, maka saya bacakan kepada kalian ayat dalam kitabullaH dimana Allah Ta’ala menjadikan hukumnya kepada manusia dalam menentukan harga ¼ dirham, lalu Allah Ta’ala memerintahkan mereka untuk berhukum kepadanya. Apa pendapatmu tentang firman Allah Ta’ala,

‘Hai orang-orang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu’ (QS. Al Maaidah : 95)

Dan hukum Allah Ta’ala diserahkan kepada manusia yang menghukum dalam permasalahan tersebut. Demi Allah, apakah berhukum kepada manusia dalam masalah perdamaian dan pencegahan pertumpahan darah lebih utama ataukah dalam perkara kelinci !?”

Mereka menjawab, “Tentu hal itu lebih utama”.

Berkata Ibnu Abbas,

“Dan Allah Ta’ala berfirman tentang seorang wanita dan suaminya,

‘Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan’ (QS. An Nisaa’ : 35)’

Demi Allah, apakah berjukum kepada manusia dalam perdamaian dan mencegah pertumpahan darah lebih utama dari berhukum kepada manusia dalam permasalahan wanita !? Apakah saya telah menjawab hal itu !?”

Mereka berkata, “Ya”.

Saya katakan,

“Pendapat kalian, ‘Dia (maksudnya adalah Ali bin Abi Thalib) berperang akan tetapi tidak menawan dan merampas harta peperangan’. Apakah kalian ingin menawan ibu kalian Aisyah yang kalian menghalalkannya seperti kalian menghalalkan selainnya, sedangkan beliau adalah ibu kalian !?

Jika kalian menjawab, ‘Kami menghalalkannya seperti kami menghalalkan selainnya’, maka kalian telah kafir, dan jika kalian menjawab, ‘Dia bukan ibu kami’, maka kalian telah kafir, karena Allah Ta’ala berfirman,

‘Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka’ (QS. Al Ahzab : 6), maka kalian berada di dua kesesatan, silahkan beri jalan keluar. Apakah saya telah menjawabnya !?”

Mereka berkata, “Ya”.

Berkata Ibnu Abbas,

“Sedangkan masalah dia telah menghapus gelar amirul mukminin dari dirinya, maka saya datangkan apa yang membuat kalian ridha, yaitu bahwa Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam pada hari perjanjian Hudaibiyah berdamai dengan kaum musyrikin, lalu berkata kepada Ali,

‘Hapuslah wahai Ali (tulisan) Allahumma inaaka ta’lam ani RasulullaH (Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasulullah) dan tulislah (kalimat) Haadza ma shalaha ‘alaiHi Muhammad bin Abdillah (ini adalah perjanjian yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdillah)’ (HR. al Bukhari dan Muslim).

Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam lebih baik dari Ali dan beliau menghapus (gelar kerasulannya) dari dirinya dan tidaklah penghapusan tersebut berarti penghapusan kenabian dari dirinya. Apakah aku telah menjawabnya !?

Mereka berkata, “Ya”

Kemudian kembalilah dari mereka dua ribu orang dan sisanya memberontak (kepada Ali dan kaum muslimin) dan berperang di atas kesesatan mereka lalu kemudian mereka diperangi oleh kaum muhajirin dan anshar. (Shahih, lihat takhrijnya dalam Kitab Munaadzaaratus Salaf hal. 95, penerbit Dar Ibnil Jauzy-Damam)