Selasa, 19 Januari 2010

Tegar menghadapi kesulitan

Kebanyakan orang takut menghadapi kesulitan. Memahami posisi kesulitan dalam kacamata yang benar, insya Allah, akan cukup meringankan kita dalam mensikapi kesulitan itu sendiri.

Pertama

Harus kita sadari bahwa realita hidup yang kita jalani ini adalah pergulatan menghadapi kesulitan. Siapa pun orangnya, dimanapun dan dalam keadaan bagaimanapun, selama dia masih hidup pasti akan bertemu dengan aneka macam kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu kemudian memaksanya berusaha untuk menaklukkannya. Sebagian ada yang berhasil dan sebagian yang lain gagal. Dan proses perjuangan menaklukkan kesulitan-kesulitan inilah yang kemudian orang sebut dengan istilah hidup. Jadi, membenci kesulitan sama saja dengan membenci kehidupan itu sendiri.



Kedua,

Kesulitan adalah milik semua orang. Semua manusia yang hidup di dunia ini pasti akan menemui kesulitan dalam hidupnya. Kita tidak perlu berangan akan dibebaskan dari kesulitan sama sekali, sebab kenyataannya semua orang telah memiliki jatah agenda kesulitan sendiri-sendiri. Semua orang secara adil kebagian kesulitan, hanya bentuk dan kadarnya berbeda-beda.

Lucu, jika kita menginginkan diberi kemudahan seperti orang lain dalam satu kasus tertentu. Padahal, orang-orang itu dalam banyak kasus yang lain juga ingin dimudahkan seperti kita. Masing-masing kita punya kelebihan dan kekurangan. Hal ini menjadi bukti bahwa hidup yang kita jalani ini ada di atas prinsip pembagian yang adil.

Menyadari bahwa kesulitan itu universal, milik semua orang, akan membuat kita lebih tegar dalam menghadapai berbagai masalah. Kita tidak perlu iri dengan kemudahan yang diperoleh orang lain. Kita juga tidak perlu berbangga dengan kesusahan yang menimpa mereka.



Ketiga

Kesulitan adalah sunnatullah, yaitu suatu ‘hukum’ yang telah ditetapkan oleh Allah secara permanen. Mau atau tidak, suka atau terpaksa, manusia pasti akan berhadapan dengan kesulitan. Sebab hal ini telah Allah tetapkan sebagai bagian dari liku-liku hidup kita.

Dalam AlQuran Allah berkata : “Dan benar-benar akan Kami berikan cobaan pada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan dan kekurangan akan harta, jiwa dan buah-buahan. Maka berikanlah khabar gembira bagi orang-orang yang penyabar.” (QS. 2:155)

Ayat ini menunjukkan bahwa salah satu tujuan datangnya kesulitan adalah untuk menguji kesabaran manusia. Dan dalam ayat lain disebutkan, “ Akan tetapi kalian lebih memilih kehidupan dunia, sedang (kehidupan) akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-a’la: 16-17). Memahami bahwa kehidupan akhirat itu lebih baik akan membuat kita lebih tenteram dalam menjalani hidup ini walau sedang menghadapi kesulitan terbesar sekalipun.



Keempat

Kadar kesulitan yang menimpa setiap orang setara dengan kesanggupannya. Allah tidak berbuat zalim dengan memberi kesulitan diluar batas kemampuannya. “Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. 2:286)



Kelima

Dibalik kesulitan ada karunia kemudahan. “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan" (QS Alam Nasyrah :6)



Inilah realita hidup. Kesulitan, jika kita memahaminya, adalah bagian dari lembaran hidup yang sepanjang hayat akan digeluti. Karena itu tidak perlu ada perasaan gentar untuk menghadapinya. Kegentaran hanya akan melahirkan pribadi-pribadi lemah yang akan digilas oleh kerasnya roda perputaran sejarah. Jika Anda sedang menghadapi kesulitan, Jangan Gentar Saudaraku…

sumber : Lenterahati@yahoogroups.com, Reff :AA.Qowiy
Baca selengkapnya...

Rabu, 13 Januari 2010

Kode Etik Pergaulan Dengan Non Muslim

Tulisan di bawah ini merupakan butir-butir penjelasan dari Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid tentang kode etik dan adab berinterkasi dengan non muslim. Kami memandang perlu untuk menerbitkannnya karena masih ada sebagian kaum muslimin yang terlalu “longgar” dalam bergaul dengan non muslim hingga melampaui batas-batas syara’ dan sebaliknya ada yang terlalu “ketat” hingga bersikap zhalim terhadap mereka. Padahal Islam mengajarkan sikap pertengahan dan adil. Berikut ini penjelasan beliau :

Al-Hamdulillah, segala puji hanya bagi Allah, (prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam berinteraksi dengan non muslim) adalah:

1. Islam adalah agama rahmat dan agama keadilan.

2. Kaum muslimin diperintahkan untuk mendakwahi kalangan non muslimin dengan cara yang bijaksana, melalui nasihat dan diskusi dengan cara yang terbaik. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
"Janganlah engkau berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang terbaik, kecuali orang-orang yang zhalim di antara mereka.."

3. Agama yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
"Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imrân : 85)

4. Kaum muslimin harus memberi kesempatan kepada orang-orang non muslim untuk mendengar firman Allah. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
"Dan jika seseorang dari orang-orang musyirikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui" (at-Taubah: 6)

5. Kaum muslimin harus membedakan antara masing-masing non muslim dalam pergaulan; yaitu membiarkan mereka yang bersikap membiarkan kaum muslimin (tidak memerangi), memerangi mereka yang memerangi, dan menghadapi yang sengaja menghalangi tersebarnya dakwah Islam di muka bumi.

6. Sikap kaum muslimin terhadap non muslim dalam soal cinta kasih dan kebencian hati, didasari oleh sikap mereka terhadap Allah subhanahu wata’ala. Karena orang-orang non muslim itu tidak beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan menyekutukan-Nya dengan sesuatu, menyimpang dari agama Allah subhanahu wata’ala dan membenci kebenaran (Islam), maka kaum muslimin juga harus membenci mereka.

7. Kebencian hati bukan berarti bersikap menzhalimi, dalam kondisi apapun. Karena Allah subhanahu wata’ala berfirman kepada Nabi-Nya shallahu ‘alaihi wasallam tentang sikap yang wajib terhadap Ahli Kitab,
"(Dan katakanlah), “Aku diperintahkan untuk berbuat adil di antara kalian; Allah adalah Rabb kami dan Rabb kalian, bagi kami amalan kami dan bagi kalian amalan kalian." (asy-Syûra : 15)

Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang Muslim, sementara mereka adalah orang-orang Yahudi dan Nashrani.

8. Kaum muslimin harus berkeyakinan, bahwa dalam kondisi bagaimana pun, seorang muslim tidak boleh bersikap zhalim terhadap non muslim. Sehingga tidak boleh menganiaya mereka, menakut-nakuti (menteror) mereka, menggertak (mengintimidasi) mereka, mencuri harta mereka, mencopetnya, tidak boleh bersikap curang terhadap hak mereka, atau mengkhianati amanah mereka, tidak boleh tidak membayar upah mereka, membayar kepada mereka harga barang jualan mereka kalau kita membelinya dari mereka, dan membagi keuntungan dalam usaha patungan dengan mereka.

Firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
"Dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu.Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu.Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah (kita) kembali". (asy-Syûra : 15)

9. Kaum muslimin harus berkeyakinan bahwa seorang muslim harus menghormati perjanjian yang dilakukan antara dirinya dengan orang non muslim. Kalau ia sudah setuju dengan persyaratan yang mereka ajukan, misalnya untuk masuk negri mereka dengan visa, dan ia sudah berjanji untuk menaati perjanjian tersebut, maka ia tidak boleh merusaknya, tidak boleh berkhianat atau memanipulasi, membunuh atau melakukan perbuatan merusak lainnya. Demikian seterusnya.

10. Kaum muslimin harus berkeyakinan bahwa kalangan non muslim yang memerangi mereka, mengusir mereka dari negeri mereka dan menolong orang-orang itu memerangi kaum muslimin, boleh dibalas untuk diperangi.

11. Kaum muslimin harus berkeyakinan bahwa seorang muslim boleh berbuat baik kepada orang non muslim dalam kondisi damai, baik dengan bantuan finansial, memberi makan kepada mereka yang kelaparan, memberi pinjaman bagi mereka yang membutuhkan, menolong mereka dalam perkara-perkara yang mubah (boleh), berlemah-lembut dalam tutur kata, membalas ucapan selamat mereka (yang tidak terkait dengan akidah, seperti selamat belajar, selamat menikmati hidangan dll), dan lain sebagainya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negrimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (al-Mumtahanah: 8)

12. Kaum muslimin hendaknya tidak menahan diri untuk bekerjasama dengan kalangan non muslim dalam melaksanakan berbagai kebajikan, memberantas kebatilan, menolong orang yang dizhalimi, memberantas segala bahaya terhadap kemanusiaan seperti perang melawan sampah, menjaga keamanan lingkungan, memperoleh barang bukti dan memberantas penyakit-penyakit menular, dan lain-lainnya.

13. Kaum muslimin harus meyakini bahwa ada perbedaan antara muslim dengan non muslim dalam beberapa ketentuan hukum, seperti warisan, pernikahan, perwalian dalam nikah, masuk kota Mekkah dan lain-lain. Semua hukum tersebut dijelaskan dalam buku-buku fikih Islam. Kesemuanya itu didasari oleh perintah-perintah dari Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga tidak mungkin disamaratakan antara orang yang beriman kepada Allah subhanahu wata’ala semata, dan tidak menyekutukan Allah subhanahu wata’ala dengan segala sesuatu, dengan orang yang kafir kepada Allah saja, dan dengan orang yang kafir kepada Allah subhanahu wata’ala dan menyekutukan-Nya dengan sesuatu, lalu berpaling dari agama Allah subhanahu wata’ala yang benar.

14. Kaum muslimin diperintahkan untuk berdakwah mengajak ke jalan Allah subhanahu wata’ala di seluruh negri-negri Islam dan di negeri-negeri lain. Mereka harus menyampaikan kebenaran kepada semua orang, mendirikan masjid-masjid di berbagai penjuru dunia, dan mengirimkan para da’i ke tengah masyarakat non muslim, serta mengajak berdialog dengan para pemimpin mereka untuk masuk ke dalam agama Allah subhanahu wata’ala.

15. Kaum muslimin harus berkeyakinan bahwa kalangan non muslim, baik yang beragama samawi atau non samawi adalah sama-sama tidak benar. Oleh sebab itu, kaum muslimin tidak boleh mengizinkan mereka untuk menyebarkan para misionaris mereka, atau membangun tempat ibadah mereka di lingkungan kaum muslimin. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
"Maka apakah orang yang beriman sama seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama". (as-Sajdah:18)

Barangsiapa yang mengira bahwa Islam itu sama saja dengan agama-agama lain, maka ia keliru besar. Para ulama membuka pintu dialog dengan kalangan non muslim. Mereka juga memberikan kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pandangan dengan orang-orang kafir, serta bersedia menjelaskan kebenaran kepada mereka. Sebagai penutup, Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
"Katakanlah, "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Ilah selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (Ali 'Imrân: 64)

Demikian juga firman Allah subhanahu wata’ala,
"Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka." (Ali 'Imrân:110).
Baca selengkapnya...

Selasa, 12 Januari 2010

Wajibnya Perintah Zakat Fitri


Rasulullah mewajibkan zakat fitrah untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan ucapan kotor, dan untuk memberi makan bagi orang-orang yang miskin. Barangsiapa menunaikanannya sebelum shalat (Id), maka ia adalah Zakat yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya sesudah sholat (Id), maka ia adalah sebuah sedekah.

(Diriwayatkan Oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, dan dia berkata, “shahih berdasarkan syarat al-Bukhari.”)

Al Kaththabi berkata,” Ucapannya,” Rasulullah mewajibkan zakat fitrah’ ini menjelaskan bahwa zakat fitrah adalah fardhu lagi wajib, seperti zakat harta yang wajib. Ini juga menjelaskan bahwa apa yang diwajibkan oleh Rasulullah adalah sama dengan apa yang diwajibkan oleh Allah; karena ketaatan kepada beliau berasal dari ketaatan kepada Allah. Seluruhnya ulama Islam telah berpandapat bahwa zakat fitrah adalah fardhu lagi wajib.



Hikmahnya telah dijelaskan bahwa ia sebagai pembersih orang yang berpuasa dari ucapan kotor dan perbuatan sia-sia, ia adalah wajib atas setiap orang yang berpuasa dan memiliki kemampuan atau bahkan atas orang miskin yang mempunyai kelebihan dari makanan pokoknya; karena alasan diwajibkannya adalah mensucikan, sementara semua orang yang berpuasa membutuhkan kesucian tersebut, maka jika illatnya (alasan hukum) sama, maka hukumnya pun sama.



”Al-Hafizh Abu Bakar bin al-Mundzir berkata,”Semua ulama telah menyepakati bahwa zakat fitrah adalah fardhu dan di antara nama yang kami ketahui di kalangan para ulama adalah Muhammad bin Sirin, Abdul Aliyah, adh-Dahhak, Atha’, Malik, Sufyan ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Abu Tsaur, Ahmad, Ishaq dan Ashhab ar-Ra’yi.” Ishaq berkata, “Ia bagai ijma’ dari para ulama.” Demikian yang dikatakan Ibnu al-Mundzir.
Baca selengkapnya...

Senin, 11 Januari 2010

Jasa seorang ibu

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah.

"Artinya : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ia berkata, "Datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, 'Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali ?' Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Ibumu!' Orang tersebut kembali bertanya, 'Kemudian siapa lagi ?' Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Ibumu!' Ia bertanya lagi, 'Kemudian siapa lagi?' Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Ibumu!', Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi, 'Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Bapakmu' "
[Hadits Riwayat Bukhari (AL-Ftah 10/401) No. 5971, Muslim 2548]
Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-Kabair berkata :
"Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan seolah-olah sembilan tahun. Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya. Dan dia telah menyusuimu dari teteknya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu. Dan dia cuci kotoranmu dengan tangan kanannya, dia utamakan dirimu atas dirinya serta atas makanannya. Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu. Dia telah memberikanmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu dan seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suara yang paling keras.

Betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik. Dia selalu mendo'akanmu dengan taufiq, baik secara sembunyi maupun terang-terangan. Tatkala ibumu membutuhkanmu di saat di sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga disisimu. Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar. Engkau puas dalam keadaan dia haus. Dan engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada ibumu. Dan engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia buat. Dan rasanya berat atasmu memeliharanya padahal adalah urusan yang mudah. Dan engkau kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek. Engkau tinggalkan padahal dia tidak punya penolong selainmu.

Padahal Allah telah melarangmu berkata 'ah' dan Allah telah mencelamu dengan celaan yang lembut. Dan engkau akan disiksa di dunia dengan durhakanya anak-anakmu kepadamu. Dan Allah akan membalas di akhirat dengan dijauhkan dari Allah Rabbul 'Aalamin. Dan Allah berfirman di dalam surat Al-Hajj ayat 10 :

"Artinya : (Akan dikatakan kepadanya), 'Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tanganmu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali tidak pernah berbuat zhalim kepada hamba-hambaNya".

Demikianlah dijelaskan oleh Imam Adz-Dzahabi tentang besarnya jasa seorang ibu terhadap anak dan menjelaskan bahwa jasa orang tua kepada anak tidak bisa dihitung. Ketika Ibnu Umar menemui seseorang yang menggendong ibunya beliau mengatakan, "Itu belum bisa membalas". Kemudian juga beberapa riwayat disebutkan bahwa seandainya kita ingin membalas jasa orang tua kita dengan harta atau dengan yang lain, masih juga belum bisa membalas. Harta yang dimiliki seorang anak pada hakekatnya adalah milik orang tua. Sebagaimana telah datang seseorang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Ya Rasulullah, orang tua saya telah mengambil harta saya" kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memarahi orang tersebut dan berkata, "Kamu dan hartamu milik bapakmu." [Hadits Riwayat Ibnu Majah dari Jabir, Thabrani dari Samurah dan Ibnu Mas'ud]

Berbahagialah para Ibu... walau begitu lelah dirimu...menuntun anak2mu.
wallahu'alam.
Baca selengkapnya...

Minggu, 10 Januari 2010

Kembalinya ribuan Khawarij ke barisan kaum Muslimin

Al Imam Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata,

“Barangsiapa mengatakan sahnya shalat di belakang imam, baik yang baik maupun yang fajir, tidak memandang bolehnya memberontak kepada penguasa dengan pedang, dan mendoakan penguasa dengan kebaikan, maka dia telah lepas dari perkataan khawarij dari awal hingga akhir” (Kitab Syarhus Sunnah oleh Imam Al Barbahari, hal. 57)

Berkata al Hafizh Abu Bakar al Humaidi (guru Imam al Bukhari yang disebutkan namanya pertama kali oleh beliau dalam Kitab Shahihnya),

“Dan kami tidak akan mengatakan seperti yang dikatakan oleh kaum Khawarij, ‘Barangsiapa yang melakukan dosa besar, maka ia telah kafir’” (Aqidah Shahih, Al Hafizh Abu Bakar Al Humaidi, Pustaka Imam Asy Syafi’i, Cetakan Pertama, Bogor, 2004)

Kembalinya Ribuan Kaum Khawarij ke Barisan Kaum Muslimin

Ketika berkumpul kelompok Haruriyah (Khawarij) yang berjumlah sekitar 6000 orang di desa Harura’, yang mana kata Haruriyah ini dinisbatkan kepada Harura’, yaitu sebuah desa berjarak dua mil dari Kufah dan menjadi tempat pertama berkumpulnya kaum Khawarij yang menyelisihi Ali bin Abi Thalib radhiyallaHu ‘anHu (Mu’jam al Buldan 3/345), orang-orang lalu mendatangi Ali bin Abi Thalib radhiyallaHu ‘anHu dan berkata,

“Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya kaum tersebut akan memberontak kepadamu”

Lalu beliau menjawab,

“Biarkan mereka, karena saya tidak akan memerangi mereka sampai mereka menyerang saya dan mereka benar-benar akan melakukannya”

Kemudian Ibnu Abbas radhiyallaHu ‘anHu mendatangi Ali radhiyallaHu ‘anHu sebelum shalat zhuhur dan Ibnu Abbas radhiyallaHu ‘anHu berkata kepadanya,

“Wahai Amirul Mukminin akhirkan shalat agar saya dapat mengajak bicara mereka”.

Beliau berkata,

“Aku khawatir mereka akan mencelakaimu”

Ibnu Abbas radhiyallaHu ‘anHu menjawab,

“Tidak akan, karena aku seorang yang berakhlak baik dan tidak pernah menyakiti seorang pun”

Lalu beliau mengizinkanku (Ibnu Abbas), maka aku mengenakan pakaian yang paling bagus dari Yaman dan menyisir rambutku, kemudian aku menemui mereka di perkampungan di tengah hari ketika mereka sedang makan.

Aku menemui suatu kaum yang aku tidak pernah menemukan kaum yang lebih bersungguh-sungguh (dalam ibadah) dari mereka. Dahi-dahi mereka hitam dari sujud, tangan-tangan mereka kasar seperti kasarnya unta dan mereka mengenakan gamis-gamis yang murah dan tersingkap serta wajah mereka pucat menguning.

Lalu aku memberi salam kepada mereka dan mereka menjawab,

“Selamat datang wahai Ibnu Abbas, pakaian apa yang engkau pakai ini ?”

Aku pun menjawab,

“Apa yang kalian cela dariku ? Sungguh aku telah melihat Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam sangat bagus sekali mengenakan pakaian dari Yaman, kemudian membacakan firman Allah Ta’ala,

‘Katakanlah, ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yang baik’ (QS. Al A’raaf : 32 )”.

Lalu mereka berkata,

“Apa maksud kedatanganmu ?”

Aku jawab,

“Aku mendatangi kalian sebagai utusan sahabat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam dari kaum Muhajirin dan Anshar dan dari sepupu Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam serta menantunya, sedangkan al Qur’an turun kepada mereka sehingga mereka lebih mengetahui terhadap ta’wilnya dari kalian dan tidak ada di kalangan kalian seorang pun dari mereka.

Sungguh aku akan menyampaikan kepada kalian apa yang mereka sampaikan dan aku akan sampaikan kepada mereka apa yang kalian sampaikan”.

Lalu berkata sekelompok dari mereka (kaum khawarij),

“Janganlah kalian berdebat dengan orang Quraisy karena Allah Ta’ala berfirman, ‘Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar’ (QS. Az Zukhruf : 58)”

Kemudian bangkit kepadaku sebagian dari mereka dan berkata dua atau tiga orang,

“Sungguh kami akan mengajaknya berbicara”

Saya berkata,

“Silahkan. Apa dendam kalian terhadap para sahabat Rasulullah dan sepupunya ?”

Mereka menjawab, “Tiga”.

Saya katakan, “Apa itu ?”

Mereka mengatakan,

“Yang pertama karena dia berhukum kepada orang dalam perkara Allah Ta’ala, sedangkan Allah Ta’ala berfirman, ‘Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah’ (QS. Al An’aam : 57)”

Saya katakan, “Ini satu”

Mereka berkata lagi,

“Yang kedua, karena dia berperang dan tidak menawan dan merampas harta (yang diperangi), kalau mereka kaum kafir maka halal menawannya dan kalau mereka kaum mukminin maka tidak boleh menawan mereka dn tidak pula memerangi mereka”

Saya katakan, “Ini yang kedua dan apa yang ketiga ?”

Mereka berkata,

“Dia menghapus gelar amirul mukminin dari dirinya, maka jika dia bukan amirul mukminin, dia amirul kafirin”

Saya katakan, “Apa masih ada pada kalian selain ini ?”

Mereka menjawab “Ini sudah cukup”

Saya katakan kepada mereka,

“Bagaimana pendapat kalian kalau saya bacakan kepada kalian bantahan atas pendapat kalian dari kitabullaH dan sunnah Nabi-Nya, apakah kalian mau kembali ?”

Mereka mengatakan, “Ya”

Saya katakan,

“Adapun pendapat kalian bahwa dia (Ali bin Abi Thalib radhiyallaHu ‘anHu) berhukum kepada manusia dalam perkara Allah Ta’ala, maka saya bacakan kepada kalian ayat dalam kitabullaH dimana Allah Ta’ala menjadikan hukumnya kepada manusia dalam menentukan harga ¼ dirham, lalu Allah Ta’ala memerintahkan mereka untuk berhukum kepadanya. Apa pendapatmu tentang firman Allah Ta’ala,

‘Hai orang-orang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu’ (QS. Al Maaidah : 95)

Dan hukum Allah Ta’ala diserahkan kepada manusia yang menghukum dalam permasalahan tersebut. Demi Allah, apakah berhukum kepada manusia dalam masalah perdamaian dan pencegahan pertumpahan darah lebih utama ataukah dalam perkara kelinci !?”

Mereka menjawab, “Tentu hal itu lebih utama”.

Berkata Ibnu Abbas,

“Dan Allah Ta’ala berfirman tentang seorang wanita dan suaminya,

‘Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan’ (QS. An Nisaa’ : 35)’

Demi Allah, apakah berjukum kepada manusia dalam perdamaian dan mencegah pertumpahan darah lebih utama dari berhukum kepada manusia dalam permasalahan wanita !? Apakah saya telah menjawab hal itu !?”

Mereka berkata, “Ya”.

Saya katakan,

“Pendapat kalian, ‘Dia (maksudnya adalah Ali bin Abi Thalib) berperang akan tetapi tidak menawan dan merampas harta peperangan’. Apakah kalian ingin menawan ibu kalian Aisyah yang kalian menghalalkannya seperti kalian menghalalkan selainnya, sedangkan beliau adalah ibu kalian !?

Jika kalian menjawab, ‘Kami menghalalkannya seperti kami menghalalkan selainnya’, maka kalian telah kafir, dan jika kalian menjawab, ‘Dia bukan ibu kami’, maka kalian telah kafir, karena Allah Ta’ala berfirman,

‘Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka’ (QS. Al Ahzab : 6), maka kalian berada di dua kesesatan, silahkan beri jalan keluar. Apakah saya telah menjawabnya !?”

Mereka berkata, “Ya”.

Berkata Ibnu Abbas,

“Sedangkan masalah dia telah menghapus gelar amirul mukminin dari dirinya, maka saya datangkan apa yang membuat kalian ridha, yaitu bahwa Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam pada hari perjanjian Hudaibiyah berdamai dengan kaum musyrikin, lalu berkata kepada Ali,

‘Hapuslah wahai Ali (tulisan) Allahumma inaaka ta’lam ani RasulullaH (Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasulullah) dan tulislah (kalimat) Haadza ma shalaha ‘alaiHi Muhammad bin Abdillah (ini adalah perjanjian yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdillah)’ (HR. al Bukhari dan Muslim).

Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam lebih baik dari Ali dan beliau menghapus (gelar kerasulannya) dari dirinya dan tidaklah penghapusan tersebut berarti penghapusan kenabian dari dirinya. Apakah aku telah menjawabnya !?

Mereka berkata, “Ya”

Kemudian kembalilah dari mereka dua ribu orang dan sisanya memberontak (kepada Ali dan kaum muslimin) dan berperang di atas kesesatan mereka lalu kemudian mereka diperangi oleh kaum muhajirin dan anshar. (Shahih, lihat takhrijnya dalam Kitab Munaadzaaratus Salaf hal. 95, penerbit Dar Ibnil Jauzy-Damam)
Baca selengkapnya...

Selasa, 05 Januari 2010

Seekor kambing untuk kurban satu keluarga

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya,

"Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan.” (Qs. Al Kautsar: 2)

Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; yang dimaksud dengan menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut. ” Pendapat ini dinukil dari Qatadah, Atha’ dan Ikrimah (Taisirul ‘Allaam, 534, Taudhihul Ahkaam IV/450, & Shahih Fiqih Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi (dengan huruf ha’ tipis).

Seekor Kambing untuk Satu Keluarga

Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266).

Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya qurban tahun ini untuk bapaknya, tahun depan untuk ibunya, tahun berikutnya untuk anak pertama, dan seterusnya. Sesungguhnya karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.

Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban, sebelum menyembelih beliau mengatakan: “Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikhain dalam Al Irwa’ 4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dan qurban onta hanya boleh dari maksimal 10 orang.

Namun seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban. Apakah harus izin terlebih dahulu kepada pemilik hewan? Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi pemberian sedekah maupun hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah maupun hadiah.

Yakinlah…! Bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).


Baca selengkapnya...