Rabu, 02 Juni 2010

Hikmah Dibalik Rezeki Burung

Dikisahkan Syaqiq al-Balkhisalah, sufi yang saleh, pergi berdagang dengan mengendarai Ontanya. Di tengah perjalanan, ia melihat burung yang lumpuh dan buta. Ia berpikir bagaimana burung itu dapat bertahan hidup?. Seketika itu pula ia melihat burung yang lain membawa makanan untuknya. Akhirnya, sang sufi yang saleh tersebut mengurungkan niatnya melanjutkan perjalanan untuk berdagang dengan anggapan burung buta dan lumpuh saja ada jaminan rezekinya apalagi manusia

Dalam perjalanan pulangnya ia berpikir bahwa bukankah Allah Maha pemberi rezeki? Bukankah ia Maha Kaya?. Bukankah Allah akan mengabulkan do’a-doa?. Rasanya Allah tidak akan membiarkan diriku dalam keadaan mati kelapatran

Kepulangan Syaqiq tersebut menimbulkan tanda tanya pada Gurunya, Ibrahim bin Adham yang juga seorang sufi besar. Mendengar penjelasan Syaqiq tentang burung yang lumpuh dan buta tersebut , Sang Guru Sufi, Ibrahim berkata, ''Aneh, engkau ini Syaqiq! Mengapa yang engkau contoh malah burung yang buta dan lumpuh, bukannya mencontoh burung lainnya yang suka memberi makan burung lumpuh itu?''

Syaqiq seketika tersadar bahwa ''tangan di atas'' lebih mulia daripada ''tangan di bawah''. Memberi sadaqah atau infak adalah tanda kemuliaan, sementara meminta-minta hanya akan membawanya ke lembah kehinaan.

Dari kisah pendek di atas nyatalah bahwa rezeki burung itu tidak akan datang dengan sendirinya saat dia sedang tidur di sarangnya, sebagaimana mangsa singa juga tidak akan datang dengan sendirinya saat ia berada di sarangnya, dan bahkan makanan semut tidak akan datang dengan sendirinya saat ia berada di lubangnya.

Hal ini menandakan kalau kita tidak boleh berdiam diri saja. Bukan berarti harus berpindah jauh dari sarangnya, tapi haruslah bergerak dan aktif sebagaimana mereka. Niscaya anda akan mendapatkan seperti mereka.

Kita harus menjadi orang orang yang selalu bergerak mencari peluang peluang kesuksesan yang di berikan Allah kepada kita. Untuk menghindari sikap meminta-minta, tidak ada cara lain selain bekerja. Sudah seharusnya kita juga bisa ''terbang'' menemukan jatah rezeki seperti burung kedua itu. Menjemput rezeki yang telah disediakan Allah seoptimal mungkin adalah tugas kita.

Dari kisah sufi di atas mungkin sufi Syaqiq al-Balkhisalah tersebut lupa bahwa Baginda Rasulullah saw pernah bersabda, “Mencari rezeki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa, dll). (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi)

Dalam kesempatan lain Rasulullah pernah bersabda,:” Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla”. (HR. Ahmad)

Memang dalam hadist, Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Umar bin Khaththab , Rasulullah SAW bersabda, “Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana rezeki burung-burung. Mereka berangkat dalam keadaan lapar, dan pulang dalam keadaan kenyang.“

Namun demikian, ini tidak berarti bahwa kita tidak perlu berusaha dan bekerja dalam rangka mencari rezeki. Jadi tidaklah cukup hanya berpangku tangan sambil bertawakal saja.

Bukankah dalam hadist diriwayatkan ketika seseorang berkata kepada Rasulullah SAW, "Ya Rasul, aku Aku lepaskan untaku dan tidak aku ikat (lalu) aku bertawakkal?" Rasulullah SAW bersabda, "Ikatlah ontamu, kemudian bertawakkallah.“

Berdasarkan hadits-hadist di atas dapat disimpulkan bahwa rezeki walaupun telah ditetapkan, namun tetap harus dicari, dijemput. Dengan bagaimana? Ya dengan bekerja mencari nafkah secara halal. Allah SWT telah menyediakan kotak rezeki masing-masing. Kotak tersebut ada yang besar ada yang kecil. Ini adalah cobaan bagi kita agar dapat diketahui seberapa besar rasa syukur seseorang. Jadi, besar atau kecilnya kotak rezeki seseorang bukanlah cermin kasih sayangNya.

Dalam konteks yang lebih luas, selama ini, bangsa Indonesia terlalu dimanja dengan segala potensi kekayaan alam, namun telah lama dijarah oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.. Tanpa sadar negeri ini hanya menjadi tempat pemodal asing yang rakus mengeruk kekayaan. Mereka menyisakan beban utang yang sangat besar. Cukup banyak rakyat yang masih hidup dalam keadaan miskin. Hampir di setiap sudut kota kita dapat menjumpai orang yang meminta-minta, mulai dari pengemis hingga pemalak uang recehan, bahkan peminta sumbangan untuk pembangunan rumah ibadah.

Fenomena yang memprihatinkan ini setidaknya mengetuk kesadaran kita semua untuk tidak hidup bermalas-malasan dalam kebodohan. Kita yang memiliki segala potensi kekayaan alam tidak selayaknya hanya menerima upah minimum, atau merasa senang dengan pinjaman utang baru tanpa kemampuan membayar. Itu sama saja dengan menggiring bangsa ini dalam lumpur kehinaan.

Saatnya kini kita membangun kembali kehormatan bangsa dengan bekerja secara optimal. Tidak hanya tenaga, tetapi pikiran dan hati pun turut bekerja. Terbanglah seperti burung yang memberi makan kepada burung yang lumpuh dan buta. ''Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya...'' demikian Allah memerintahkan kita dalam QS Al-Mulk:15).

Menjemput rezeki seperti burung yang terbang di pagi buta patut kita tiru agar kita kelak tidak meninggalkan anak-anak kita dalam keadaan lemah alias kekurangan (harta atau ilmu). Karena hal yang demikian cenderung membuat anak keturunan kita menjadi tergantung kepada orang lain hingga mudah diperalat dan akhirnya menjadi lupa akan Tuhannya

Allah swt berfirman,”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.” (QS. An-Nisa [4] : 9).

Selamat terbang menjemput rezeki sahabatku, dan jangan lupa sisihkanlah sebagian untuk saudara2 kita yang sedang dalam kekurangan dan kemalangan.